***

5/30/2015

Mengapa Batas Usia Memiliki SIM Harus 17 Tahun?

Kaum remaja tergolong rentan terhadap kecelakaan saat berkendara. Seperti dilansir oleh Satuan Lalu lintas Polres Cimahi, dalam program yang dijalankannya melalui kampanye "Berbagi Pengetahuan Keselamatan Lalu Lintas” yang mengingatkan bahwa remaja yang belum berusia17 tahun atau belum diperbolehkan memiliki surat izin mengemudi (SIM), tidak boleh mengendarai mobil atau motor sendiri. Mengemudikan sendiri ke sekolah atau kepentingan lainnya, selain untuk alasan kepraktisan dan mobilitas, juga seringkali dijadikan sebagai suatu kebanggaan bagi para remaja. Namun, harus diingat tentang aturan tersebut yang menegaskan kaum remaja yang belum boleh mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya. 

Soal larangan tersebut juga tertulis dalam Pasal 77 ayat (1)Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan, ”Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki surat izin mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”. Kemudian Pasal 81 ayat (2) juga tertulis bahwa persyaratan usia pemohon SIM A, C, dan D adalah 17 tahun, sedangkan untuk SIM B-I ada1ah 20 tahun, dan usia 22 tahun untuk SIM B-II. Tentu disertai berprilaku tertib dan atau mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan.

Merujuk pada UU Lalu Lintas usia 17 tahun sebagai batas usia minimal untuk mengemudikan kendaraan, tentu bukan tanpa alasan yang kuat. Menurut neuropsikolog, Elizabeth Sowell, seperti dirilis kembali oleh Satlanta Polres Cimahi, pada remaja dibawah 17 tahun, bagian otak yang disebut  lobus frontal belum tumbuh secara sempurna.

Lobus frontal ini adalah bagian otak yang mengatur perencanaan, pengorganisasian, dan antisipasi. Hal tersebut berarti, kemampuan melakukan hal-hal yang dimaksud masih lemah. Padahal, untuk dapat berkendaraan dengan aman di jalan raya, kemampuan yang diatur oleh lobus frontal sudah harus berfungsi secara maksimal. Dengan demikian, menyadarkan diri tentang konsekuensi buruk yang dapat dihadapi. 

(Didih Hudaya)***

 


Pikiran Rakyat-Kolom Otomotif-29/5/2015

3/31/2015

Mengenang Pemimpin Bersahaja, Tuan Guru Nik Abdul Aziz







Ulama yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, Urdu, Siam, hingga China ini telah tutup usia pada 12 Februari 2015




NIK Abdul Aziz bin Nik Mat, yang akrab dipanggil Tuan Guru, dilahirkan pada tahun 1931 di kampung Pulau Melaka, Kota Bharu Kelantan, Darul-Naim. Pendidikan awal ia dapat dari Madrasah Ittifaqiyah Jertih, Terengganu. Setelah selesai pendidikan tingkat menengah, tahun 1952 ia lanjut kuliah di Deoband Darul Ulum India, Fakultas Islamic Study, lalu ke Universitas Lahore Pakistan tahun 1957. Belum puas, ia melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir, dan meraih gelar diploma, lalu magister Syariah Islamiyah pada tahun 1962.

Ulama yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, Urdu, Siam, hingga China ini telah tutup usia pada 12 Februari 2015. Karena itu, demi mengenang kiprah Tuan Guru sebagai politisi tulen dan ulama sejati, maka, saya kembali mengangkat kisah hidupnya. Ini adalah tulisan kedua di Tribun Timur. Tulisan pertama saya tentang beliau adalah “Jika Ulama Jadi Umara”,  (TRIBUN TIMUR. 18/01/2013).

Karena sudah banyak yang menulis kiprah Tuan Guru dalam sisi politik yang bernuansa politis, maka fokus saya mengungkap sisi keilmuan beliau yang memang saya kenal sebagai ulama. Seorang ulama memiliki beberapa kriteria, selain menjadi contoh dalam ketakwaan, ia juga harus menampakkan keilmuannya dengan mengajar dan menulis.

Semua kritaria tersebut ada pada Tuan Guru, bahkan selama menjabat sebagai pengarah partai oposisi terbesar di Malaysia, Partai Islam Semalaysia (PAS) dan juga sebagai Menteri Besar (Gubernur) Kelantan selama 20 tahun lebih, ia tetap mengajar. Bahkan halaqah ilmiah bulanannya, pada awalnya hanya dihadiri 40 jamaah, berkat kesabaran, keuletan, dan keilmuan yang dimilikinya, menjelma menjadi sebuah jamaah cukup banyak, 40 ribu lebih. Mereka datang bukan ingin mendengar ceramah politik, sebagaimana yang terjadi pada pemimpin politik, akan tetapi untuk meneguk lautan ilmu dari Tuan Guru.

Selain mengajar, Tuan Guru, sebagai ulama muktabar, sangat produktif, menulis ragam disiplin keilmuan, seperti, Tafsir, Hadis, Tasawuf, Sejarah, Fikih, Tauhid, dll. Beliau juga seorang kolumnis dalam Tabloid “Harakah Daily” yang terbit mingguan dan berfungsi sebaga corong informasi aliansi oposisi Malaysia. Tulisannya yang berjumlah ratusan episode itu telah dibukukan menjadi dua jilid, salah satunya, “Sirah Nabawiyah: Insan Teladan Sepanjang Zaman, Kuala Lumpur, 2004″, dalam kata pengantar pengarang, Tuan Guru menulis, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi panduan bagi umatnya.

Bagaimanapun, manusia tidak memiliki kemampuan menafsirkan kandungan Al-Qur’an–jika tidak didukung dengan ilmu-ilmu tafsir. Antara tujuan mempelajari sirah Nabi Muhammad adalah agar mendapat dukungan besar untuk memahami Kitab Allah dan mengecapi ruh Al-Qur’an. Selain itu, ia menjadi media untuk mengumpulkan sebanyak mungkin sumber informasi dan pengajaran Islam, baik yang berhubungan dengan akidah, hukum syariat, atau yang berhubungan dengan akhlak yang menjadi budaya asli dalam kehidupan manusia untuk selamanya.

Tidak mungkin–lanjut Tuan Guru–kesejahteraan masyarakat akan terwujud jika tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat. Amar ma’ruf nahi mungkar semestinya dilakukan, dan semua itu tidak sempurna jika akhlak yang baik tidak terwujud.

Tuan Guru melalui Partai Islam Semalaysia berusaha menerapkan syariat Islam secara totalitas, namun sayang, karena penerapan Syariat adalah wewenang pemerintah Pusat Malaysia yang dikuasai Barisan Nasional yang beraliran nasionalis, maka syariat Islam di Kelantan, khususnya masalah jinayah (hudud), belum terlaksana.

Namun, perjuangan Tuan Guru terus berlanjut. Bahkan, dalam tulisan-tulisannya, kerap kali membesarkan hati pengikutnya dengan mengangkat kisah-kisah inspiratif. Misalnya, ketika Rasulullah dan para sahabatnya di Makkah terus-menerus dikejar, disiksa, dan dibunuh. Justru Nabi memberi semangat bahwa, suatu saat, umat Islam akan menaklukkan peradaban besar yang sedang menjadi adikuasa, Persia dan Romawi.

Padahal, secara realitas, Persia yang beragama Majusi dan penyembah api itu adalah negara raksasa yang kerap mengalahkan Romawi yang beragama Kristen dalam peperangan, begitupula sebaliknya. Sedangkan Islam, saat itu hanya memiliki beberapa pengikut yang tidak diperhitungkan, jangankan Persia dan Romawi, penduduk Makkah sekalipun.

Dan, kebenaran sabda Nabi kelak terbukti, walau harus menunggu 30 tahun setelah ia wafat. Karena itu, lanjut Tuan Guru, tantangan dan rintangan dalam berdakwah dan menegakkan syariat haruslah dilihat kecil, karena tak seberapa dibanding cobaan di zaman Nabi.

Menurut ulama zuhud ini, penaklukan Persia, selain menggunakan kekuatan taktik dan militer Islam, kekalahan Persia dipermudah dengan adanya konflik internal negara raksasa itu, berupa perebutan kekuasaan antara ayah sebagai raja dan anak sebagai putra mahkota. Sang raja mati dibunuh putranya, dan sang anak, juga mati karena perangkap racun yang telah dipasang oleh ayahnya. Kedunya mati karena rakus kekuasaan.
Tok Guru hidup sederhana walaupun mampu hidup mewah. Bahkan, menjadikan politik sebagai media menebar ilmu, hikmah

 

Di saat yang sama–tulis Tuan Guru–sebelum kematiannya, Raja Persia telah memerintahkan gubernur Yaman sebagai tanah jajahannya, agar mengirim polisi ke Madinah untuk menangkap Nabi Muhammad, menurut Raja Penyembah api itu, Nabi telah menjadi sumber masalah dan kekacauan di Yaman, rakyat banyak membangkang gara-gara tertarik dan menjadi pengikut Rasulullah.

Ketika dua polisi utusan Gubernur Yaman tiba di Madinah untuk menangkap Nabi atas perintah Raja Persia, justru Nabi memberitahu mereka berdua, bahwa tidak ada gunanya melakukan titah sang raja, sebab raja mereka sudah pun mati tepat pada hari ini.

Sekembalinya ke Yaman, dua polisi tersebut justru membawa kabar dari Nabi bahwa raja mereka di Persia telah pun mati dan tidak ada gunanya menjalankan perintahnya, kabar kematian sang raja ternyata justru datang dari Nabi, gubernur heran, lalu mereka pun berpikir untuk mengubah kayakinan dan peta politik, (Nik Abdul Aziz Nik Mat, 2004: 431-432).

Dalam hal ibadah, ketakwaan, dan zuhud, Tuan Guru adalah contoh utama ulama saat ini. Pernah, ketika ia di hotel, sahabatnya meminta agar beliau tidur di atas kasur empuk (springbad), ia malah menjawab, Saya lebih baik tidur di atas sajadah ini, agar dapat dengan mudah bangun menunaikan salat tahajjud, tidur di tempat yang empuk akan mempersusah kita bangun beribadah.

Beliau hidup dalam kesederhanaan, mengenakan baju jubah dan sorban di kepala. Rumahnya pun hanya rumah kayu kampung tidak berpagar dan tidak pula dijaga polisi atau Satpol sebagaimana kepala daerah di Indonesia. Kerap dijumpai salat dalam keadaan gelap di kantornya, sebab lampu dipadamkan karena itu milik negara, sementara salat adalah urusan pribadi. Dan uniknya, siapa pun boleh bertemu dengannya. Orang-orang India dan China di Kelantan sangat cinta pada Tuan Guru.

Hal itu terwujud karena kesederhanaan dan contoh kongkrit yang ia berikan kepada rakyat. Padahal, kalau kita mau jujur, Kelantan adalah negara bagian yang paling terbelakang pembangunannya di Malaysia, sebab pemerintah pusat tidak sudi memberi bantuan pada negari yang dipimpin Tuan Guru yang berasal dari partai opisisi. Pada tahun 2009, menurut The Malaysian Insider Tuan Guru rahimahullah ditempatkan sebagai 50 tokoh Islam paling berpengaruh di dunia dan terdaftar dalam buku, “The 50 Most Influential Muslims”.

Kisah inspiratif di atas telah menjadi contoh nyata bahwa politik tidak semestinya dianggap kotor dan bernajis. Dan dunia ini, bukanlan seonggok bangkai sebagaimana paham sebagian kaum sufi, melainkan, mazra’atul-akhirah, tempat bercocok tanam agar dipetik di akhirat kelak, dan politik adalah tanaman terbaik, karenanya dapat dijadikan sebagai investasi dakwah sebagaimana dicontohkan Tuan Guru. Beliau hidup sederhana walaupun mampu hidup mewah. Bahkan, menjadikan politik sebagai media menebar ilmu, hikmah, dan kabajikan.

Saya tutup tulisan ini dengan mengutip perkataan Tuan Guru; “Kalau kita menanam lada, 40 hari akan dapat hasil, lansung bisa dijual, menanam terung, dua-tiga bulan dapat hasilnya, tapi keuntungan tidak besar karena itu hanya proyek kecil-kecilan. Jika proyek yang lebih besar seperti menanam karet, bukan 40 hari tetapi memakan waktu tahunan. Semakin besar sebuah proyek, semakin besar untungnya.”

Begitu pula pahala yang merupakan proyek paling besar, untungnya sangat besar, jadi sesuailah dengan menunggu begitu lama, yaitu setelah kematian baru dituai hasilnya. Wallahu A’lam!

Ilham Kadir, alumni terbaik Fakultas Tafsir Arabic-Islamic College of Al-Ihsaniyah, 2005, Penang-Malaysia

-- http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2015/02/27/39567/mengenang-pemimpin-bersahaja-tuan-guru-nik-abdul-aziz-

-- Bintang Syurga : Tribute to Almarhum Tuan Guru Nik Abdul Aziz Nik Mat (1931-2015) ᴴᴰ - YouTube
https://www.youtube.com/watch?v=PGKK8cUAwC0